Jakarta, - Sistem Pemilihan Umum Pemilu Indonesia dinilai masih membutuhkan banyak perbaikan karena dianggap tidak mendukung upaya penguatan pemerintahan sistem presidensial dan membangun checks and balances. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia UI, Valina Singka Subekti menilai, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam penerapan sistem pemilu dan penguatan sistem presidensial di Indonesia. "Pertama, sistem pemilu harus mampu meningkatkan derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR," kata Valina Singka Subekti dalam rangkaian acara "Kolaborasi Dua Guru Besar Mengabdi Negeri", Senin 14/10/2019 di Jakarta. Kedua, Sistem pemilu harus mampu menghasilkan sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana. Ketiga, sistem pemilu harus mudah diaplikasikan dan berbiaya rendah serta mampu memutus mata rantai praktek politik transaksional. Sistem pemilu saat ini dianggapnya terlalu berpusat pada calon atau candidacy centered dan perlu direkayasa kembali menjadi sistem pemilu yang berpusat pada partai atau party centered. Valina Singka Subekti mengusulkan sistem pemilu proporsional tertutup dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam pemilu serentak 2024. "Perubahan sistem pemilu dapat efektif mencapai tujuan tersebut di atas apabila diikuti reformasi internal kepartaian dengan membangun sistem demokrasi internal partai yang terukur, transparan dan akuntabel disertai penguatan ideologi partai, termasuk pendanaan partai dibiayai oleh negara dengan APBN," kata Valina Singka Subekti. Menurutnya, penyederhanaan kepartaian dan perubahan sistem pemilu serta penguatan sistem demokrasi internal partai menjadi kebutuhan mendesak dalam konteks presidensialisme Indonesia. Perubahan ini akan menjadi efektif apabila diiiringi pendidikan politik yang mencerahkan supaya rakyat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Demokrasi perwakilan dalam sistem pemerintahan presidensial selain memerlukan kehadiran sistem pemilu yang kompatibel, juga kehadiran anggota parlemen yang jujur dan amanah dan masyarakat sipil yang kuat. Valina Singka Subekti mengusulkan sistem pemilu yang berpusat pada partai seperti dimaksudkan konstitusi Pasal 22 E UUD 1945, yaitu sistem pemilu proporsional tertutup. Di antaranya melalui upaya memperketat persyaratan partai politik peserta pemilu hingga memperkecil besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi dari 3-12 menjadi 3-8. Dengan semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit alokasi kursi yang diperebutkan di setiap dapil, maka akan semakin sulit partai memenangkan kursi. Selain itu juga perlu untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. "Usulan desain sistem pemilu tersebut tetap dilaksanakan dalam kerangka penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak. Rekomendasi agar tetap mempertahankan penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak seperti yang telah dilaksanakan pada Pemilu Serentak 2019 dilatarbelakangi oleh alasan efisiensi dan efektivitas," ujar Valina Singka Subekti. Menurutnya, dengan pertimbangan digunakan sistem pemilu yang lebih sederhana dari sisi teknis dengan ukuran dapil 3-8 dan dukungan E-Counting atau E-Recap, maka mempertahankan desain pemilu serentak lima kotak yang dibarengi dengan reformasi kepartaian pada saatnya nanti dapat mengurangi jumlah partai. "Dengan rekayasa desain sistem pemilu yang demikian diharapkan partai politik menjadi lebih kuat, lebih aspiratif, dan akuntabel sehingga efektivitas penyelenggaraan pemerintahan presidensial dapat terwujud," kata Valina Singka Subekti. Dia mengingatkan, sistem kepartaian sederhana dari segi jumlah sangat diperlukan untuk memperkuat pemerintahan presidensial dan untuk membangun checks and balances. Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyederhanakan sistem kepartaian melalui rekayasa sistem pemilu sejak 2004, 2009, 2014 dan 2019, namun belum mampu menunjukkan hasil yang signifikan. Saat ini diterapkannya instrumen Parliamentary Threshold PT dan persyaratan partai peserta pemilu yang lebih ketat belum bisa menekan jumlah parpol. Buktinya, jumlah partai politik masih tergolong sebagai multipartai ekstrem dengan jumlah lebih dari lima partai di DPR. Bahkan berdasarkan hasil Pemilu Serentak 2019 dengan beragam perubahan unsur sistem pemilu di dalamnya, jumlah partai politik terpilih masih cukup banyak, yaitu sembilan partai politik. Masalah lain berkaitan dengan partai politik yang pada akhirnya mengaburkan semangat penguatan sistem presidensial adalah fenomena oligarki dalam partai politik. Setiap menjelang pemilu, bermunculan partai baru yang didominasi kaum pemilik modal. Dengan sumber daya ekonomi yang dimiliki, kelompok oligarki memasuki wilayah kekuasaan politik melalui partai sebagai media paling strategis untuk meraih kekuasaan politik. Tidak heran menyatunya kekuasaan ekonomi dan politik pada satu tangan akan semakin memperkuat dominasi oligarki, membuat partai dan DPR semakin jauh dari harapan rakyat dan mengurangi kualitas demokrasi. Selain itu, dampak negatif lainnya dari sistem pemilu saat ini adalah hadirnya politik berbiaya tinggi high cost politics dan menguatnya politik uang money politics. Sistem pemilu langsung dengan model kompetisi terbuka pada satu sisi dinilai demokratis. Namun pada sisi lain menutup peluang kader partai dan memberi kesempatan masuknya kader Instan dengan modal sosial lebih kuat seperti dana besar dan popularitas. Di sisi lain, pemilih Indonesia yang pada umumnya kurang memperoleh pendidikan politik telah menjadi objek dari praktek politik transaksional pada pemilu legislatif 2014 dan 2019. Praktek politik uang ini tidak lagi tertutup atau malu-malu, tetapi terbuka dan bahkan terstruktur dan sistematis. Rangkaian acara "Kolaborasi Dua Guru Besar Mengabdi Negeri" digelar setelah pasangan suami istri, masing-masing Prof. Dr. dr. Imam Subekti dan Prof. Dr. dr Valina Singka Subekti dikukuhkan menjadi guru besar tetap UI. Prof. Dr. dr. Imam Subekti dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu kedokteran dan Prof. Dr. dr Valina Singka Subekti dikukuhkan menjadi guru besar ilmu politik. Sumber Suara Pembaruan Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. Sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena? terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka Semua jawaban benar Jawaban yang benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. Dilansir dari Ensiklopedia, keadaan kehidupan politik dan pemerintahan indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. [irp] Menurut saya jawaban C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban D. peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. [irp] Menurut saya jawaban E. Semua jawaban benar adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah.
BACAJUGA: Pengamat Bongkar Kerugian Jika Partai Politik di RI Makin Banyak. "Keuntungannya jelas banyak. Publik jadi punya pilihan dan potensi masyarakat untuk terwakili oleh gagasan yang dibawa oleh salah satu visi misi partai semakin besar," ujar Kunto kepada GenPI.co, Senin (11/10). Oleh sebab itu, menurut Kunto, pemilih jadi benar-benarBulan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam sebuah Kongres luar biasa yang kontroversial di Medan, Sumatera Utara. Terpilihnya Moeldoko “mendepak” Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Awal bulan ini, pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat yang diajukan kubu Moeldoko. Dengan demikian Agus tetap menjadi ketua umum. Perpecahan di Partai Demokrat - walau tidak berlangsung lama - bukanlah perpecahan partai politik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Golkar juga sempat terbelah. Saya meneliti bagaimana partai-partai dan sistem partai di Indonesia mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto yang disusul perubahan pada sistem pemilihan umum pemilu demokratis dan langsung. Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas. Sistem ini mendorong terbentuknya faksi-faksi dalam partai politik berupa perpecahan yang terdorong bukan karena perbedaan ide-ide kebijakan, namun demi harta, jabatan, dan kekuasaan. Dampak sistem presidensial Secara umum, ciri sistem presidensial adalah dua sumber kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang berbeda presiden dan parlemen sama-sama dipilih secara langsung, dan presiden hanya bisa diturunkan lewat proses pemakzulan. Selama Orde Baru, Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak diawasi; Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR hanya lembaga tertinggi negara di atas kertas. Soeharto mengendalikan Golkar - partai rezim - dan berhasil menekan Partai Demokrasi Indonesia PDI dan PPP yang ketika itu dianggap partai semi-oposisi. Setelah Orde Baru jatuh, kekuasaan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat DPR menguat sangat pesat. Meski demikian, masa-masa awal Reformasi diwarnai ketidakpastian. Penurunan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2001 adalah akibat kemelut antara DPR, MPR, dan sang presiden yang memiliki perbedaan pandang jauh dengan parlemen tentang apa yang menjadi otoritasnya. Karena kekisruhan pasca kejatuhan Gus Dur, pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pada 2004. Sistem presidensial cenderung mendorong pembentukan faksi-faksi faksionalisme tersendiri, terutama berkaitan pada adanya dualisme antara presiden dan partainya. Karena presiden dipilih langsung, ia tidak bergantung pada parlemen dan partai politik layaknya seorang perdana menteri. Faksionalisme dalam sistem presidensial tentu saja bukan sekadar soal peraturan-peraturan yang mendorong organisasi atau institusi partai yang baik. Partai politik dapat terpecah jika demokrasi dalam partai tinggi, jika ekonomi politik partai tidak menguntungkan satu pihak saja, jika partai tidak terlalu terpusat, jika peraturan internal misalnya soal keanggotaan atau pemilihan ketua tidak terlalu jelas, dan seterusnya. Perpecahan internal juga tidak akan mudah menyebabkan munculnya partai-partai baru karena banyak tantangan dari luar. Di Indonesia, partai baru tidak memiliki peluang sukses yang realistis karena, misalnya, tingginya ambang batas elektoral, peraturan yang menuntut jumlah cabang yang banyak, dan tingginya biaya kampanye. Di sini, sistem presidensial telah membawa setidaknya tiga dampak. Pertama, terbentuknya partai-partai politik dengan tujuan untuk mendukung calon presiden atau calon pemegang jabatan penting lainnya. Partai Demokrat, Partai Hanura, Gerindra, dan Partai NasDem adalah contoh-contoh utama. Hal ini hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang memungkinkan orang-orang kaya untuk membangun kendaraan-kendaraan politik dari nol. Sistem presidensial mendorong munculnya pemimpin-pemimpin karismatik yang memiliki kendaraan politik sendiri. Faksionalisme dalam partai-partai semacam ini tidak banyak terjadi jika kepemimpinan partai sangat kuat misalnya Prabowo Subianto di Gerindra. Tapi faksionalisme meningkat jika pemimpin partai - dalam kasus ini SBY di Partai Demokrat - mengizinkan adanya persaingan atau tidak mampu mencegah persaingan. Kedua, munculnya orang-orang luar seperti Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sukses tanpa memiliki partai sendiri - atau paling tidak tanpa akar kuat di salah satu partai besar. Dalam situasi ini, sistem presidensial akan menciptakan dualisme antara si orang luar dan mesin partai. Ini tampak dalam ketegangan antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P. Ketiga, selama beberapa tahun terakhir Jokowi telah menjadi presiden yang sangat kuat dan tampaknya mampu secara tidak langsung mencampuri konflik internal partai-partai lain untuk menciptakan faksi yang mendukung dia. Contohnya yang terjadi di PPP, Golkar, dan mungkin juga di Partai Demokrat. Perpecahan dalam Partai Demokrat kemarin bisa dilihat memiliki karakter campuran ketiga dampak di atas. Jokowi kiri dan Megawati Soekarnoputri. Setpres/Antara Foto Jalan keluar Partai-partai politik di Indonesia berkolusi dan membangun koalisi-koalisi besar; platform mereka tidak jauh berbeda satu sama lain. Nyaris tidak ada perbedaan antara partai sayap kiri dan sayap kanan. Partai-partai itu telah menjadi bagian suatu kartel dan telah terlibat dalam banyak kasus korupsi di tingkat nasional dan daerah. Perpecahan dalam partai terjadi sebagai bentuk faksionalisme berciri klientelisme - dengan kata lain rebutan soal uang, jabatan, dan kekuasaan. Sebaliknya, faksionalisme berbasis kebijakan - sesuatu yang jarang bahkan tidak ada di Indonesia - terjadi karena ideologi politik. Perpecahan antara kelompok-kelompok dalam partai terjadi karena perbedaan ide dan strategi politik. Indonesia membutuhkan partai-partai dengan platfrom yang jelas, yang mewakili spektrum politik sepenuhnya, dari sayap kiri hingga kanan. Untuk mendorong ini, DPR dan pemerintah perlu memulai adanya aturan ketat soal partai dan pendanaan kandidat serta pemilihan calon berdasarkan aturan mengikat dalam prosedur internal partai. Mungkin dengan itu, nantinya kelompok-kelompok internal partai tidak lagi memandang organisasi mereka sebagai alat-alat kekuasaan dan keuntungan diri. Namun, kelompok-kelompok itu bisa mulai berdebat soal isu-isu politik yang kompleks tentang keuangan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan demi kepentingan para pemilih Indonesia.Jawaban(1 dari 20): Amerika Serikat hanya memiliki dua partai yang berjaya karena sistem pemilunya memilih orang, bukan memilih partai. Suara yang diterima partai bisa dibagi secara proporsional. Misalkan partai A dapat 40%, partai B 20%, sementara partai C, D, E, dan F masing-masing 10%. Kalau